Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi setiap insan manusia. Pendidikan menjadi kebutuhan utama bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk mempersiapkan dirinya terjun ke dalam masyarakat. Konsep gender terlihat cukup dominan dalam dunia pendidikan dan salah satunya yaitu pada pendidikan di sekolah dasar. Pada masa Kartini terdapat perbedaan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh bahwa masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan rumah tangga, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah dalam bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai bahwa pendidikan lebih diutamakan laki - laki meskipun anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang berpendidikan. Pada pendidikan non formal masih tetap berlaku konsep gender, sebagai contoh anak perempuan lebih disarankan mengambil bidang tari atau bermain musik piano sedangkan anak laki-laki pada bidang olahraga atau belajar bermain gitar untuk bidang music .
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|
Pendidikan di sekolah dasar merupakan pendidikan yang dapat membentuk pondasi karakter siswa, sehingga guru harus mendidik siswa dengan benar. Terutama mengenai konsep gender, guru perlu menanamkan kepada siswa sejak dini agar tidak terjadi kesalah pahaman mengenai kesetaraan gender. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk menanamkan konsep gender dengan benar yaitu melalui pembelajaran di kelas. Pendidikan di Indonesia saat ini telah menggunakan kurikulum 2013, dengan begitu terdapat beberapa kebijakan yang telah dirubah. Banyak sekali kebijakan yang menjadi pro dan kontra pada saat awal kurikulum 2013 dilakukan secara serentak. Terdapat perbedaan dalam kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013 membuat banyak sekolah atau guru yang kualahan karena ketidaksiapan dalam memberlakukan kurikulum 2013.
Di sekolah dasar juga terjadi beberapa perubahan, seperti dulu saat masih KTSP buku Tematik hanya dilakukan untuk siswa kelas rendah saja, sedangkan saat kurikulum 2013 diterapkan seluruh kelas baik rendah maupun tinggi wajib menggunakan buku ajar Tematik yang diharapkan tentunya dapat menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia semakin baik. Ini merupakan salah satu penyebab perlunya pembelajaran tematik terpadu yang diterapkan sejak di sekolah dasar dari kelas tinggi maupun kelas rendah. Oleh Pengembang Kurikulum 2013 diyakini bahwa pembelajaran tematik terpadu merupakan sebagai salah satu model pengajaran yang efektif (highly effective teaching model). Selain itu, pembelajaran tematik terpadu dianggap mampu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik, dan akademik.Tujuan penulisan artikel ini yaitu membahas tentang konsep gender dan kesetaraan gender, seperti apakah kepentingan kesetaraan gender dalam buku ajar tematik di sekolah dasar yang kurang mendukung adanya kesetaraan gender beserta rekomendsi dan solusinya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Tunda Pemilu dan PJ Presiden
|
Istilah gender dalam kehidupan masyarakat pada umumnya sering diartikan sebagai jenis kelamin, namun pada kenyatannya istilah itu salah. Gender berbeda dengan seks (jenis kelamin). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan merupakan kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa yang secara permanen tidak dapat dirubah dan merupakan ketentuan biologis, sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dapat dibentuk
Jagtenberg dan D’Alton (1995) menyatakan bahwa “gender and sex are not the same thing. Gender specifically refers to the social meanings attached to biological differences.... The way we see ourselves and the way we interact are affected by our internalisation of values and assumptions about gender”. Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu aturan social atau peran perilaku dimana individu dinyatakan memiliki identitas yang berkaitan dengan jenis kelamin. Kesetaraan gender sendiri merupakan kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak - hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equality permits women and men equal enjoyment of human rights, socially valued goods, opportunities, resources and the benefits from development results”, yang artinya kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender adalah kondisi dimana laki-laki dan perempuan dapat memiliki status dan kondisi yang sama untuk memenuhi hak asasi manusia bagi pembangunan didalam segala bidang dan menikmati dari manfaat hasil pembangunan tersebut. Al-Qur’an juga telah banyak membahas tentang peran dari kaum perempuan. Perempuan muslimah digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik (Q.S. al-Mumtahanah/60:12), memiliki kemandirian ekonomi (Q. S. An-Nahl/16:97. Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q. S. Al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q. S. An-Nisā'/4:75). Perempuan seperti layaknya laki-laki yaitu dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya asalkan pekerjaan itu halal dan jika ia telah menikah maka hendaknya telah memiliki izin dari suaminya. Bias gender disosialisasikan melalui pembelajaran di dalam kelas seperti penggunaan buku ajar yang ada di sekolah dasar. Buku ajar yang digunakan oleh guru saat ini masih banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Pada kebanyakan buku umumnya masih banyak ditemukan masalah mengenai kesetaraan gender, misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki saja, sementara gambar guru yang sedang mengajar selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan pekerjaan yang mendidik atau mengasuh. Pada pelaksanaan upacara bendera misalnya yang kita lihat saat ini pembawa bendera atau bakiak kebanyakan adalah siswa perempuan yang dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal ini dapat menanamkan pemikiran kepada siswa bahwa pada umumnya suatu pekerjaan yang sifatnya mendidik, mengasuh, tugas-tugas ringan seperti membawa bendera merupakan tugas yang dapat dilakukan perempuan, sedangkan tugas yang berat, mandiri, dan butuh kekuatan merupakan pekerjaan yang dapat dilakukan oleh laki-laki saja.
Permasalahan seperti di atas apabila tidak segera ditangani maka dalam jangka waktu ke depannya akan membentuk suatu pemikiran yang salah dalam masyarakat. Sebagai contoh, tidak sedikit perempuan yang putus sekolah karena factor ekonomi memiliki pemikiran bahwa meskipun ia memiliki gelar atau lulusan dari sekolah yang tinggi perempuan hidupnya hanya didapur saja, sedangkan laki-laki diwajibkan sekolah tinggi karena akan menjadi kepala rumah tangga yang harus menafkahi keluarganya kelak. Meskipun perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga hendaknya perempuan juga harus memiliki ilmu yang banyak karena ia merupakan guru pertama untuk anaknya kelak.
Bukan berarti menjadi ibu rumah tangga tidak memerlukan ilmu, justru ilmu-ilmu yang didapat dari pendidikan tinggi dapat diterapkan dan diaplikasikan langsung dalam kehidupan rumah tangga. Pada buku ajar Tematik Kelas IV yang digunakan guru dalam pembelajaran ditemukan beberapa permasalahan yang kurang menunjukkan kesetaraan gender. Hasil analisis pada buku tersebut khususnya Tema 6 halaman 2 terdapat 3 gambar yakni, guru, arsitek dan dokter hewan yang tidak mencerminkan adanya kesetaraan gender. Tujuan materi dan gambar-gambar tersebut sebenarnya dibuat agar siswa dapat termotivasi untuk semangat belajar dan meraih cita-citanya di masa depan dengan memiliki pekerjaan yang sesuai dengan apa yang ia harapkan. Permasalahan mengenai kesetaraan gender terutama pada gambar tersebut yaitu gambar-gambar yang ditampilkan terlalu memperlihatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang juga memiliki jenis kelain tertentu. Pada halaman 2 terdapat gambar seorang guru wanita dan seorang arsitek yang berjenis kelamin laki-laki.
Pada halaman 34 terdapat gambar seorang penari berjenis kelamin perempuan dan pilot yang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan gambar ilustrasi yang digunakan dalam buku tersebut akan membuat anak untuk berfikir bahwa pekerjaan yang sifatnya keras, cekatan, dan butuh kemandirian yang tinggi hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang berjenis kelamin laki-laki saja, sebaliknya suatu pekerjaan yang sifatnya mendidik, mengajar, bergerak dengan lemah lembut yang hanya dapat dilakukan atau dikerjakan seseorang yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini merupakan salah satu pemicu deskriminasi pada kesetaraan gender.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Hal tersebut dibuktikan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, Amandemen UUD 1945, Pasal 28B ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Perpres No.7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan diberlakukan agar pentingnya kesetaraan gender menjadi salah satu perhatian secara khusus dalam dunia pendidikan, namun masih ada beberapa pihak yang menganggap tidak penting sehingga dampaknya dalam membuat buku ajar kurang memperhatikan perihal kesetaraan gender. (Andi/AIS)